Siang yang berdebu tak
menyurutkan semangat Able buat narik angkot butut nya.
Beginilah nasib seorang perantauan
di kota besar. Walau uang yang diperoleh tak seberapa, tapi itu lebih dari
cukup dari pada tak berpenghasilan di kampung halaman yang nyaman.
Setahun sudah Able
merantau. Kerjaan sebagai sopir angkot di dapat dari rasa persaudaraan sesama
perantau sumatera di pulau jawa. Mengingatnya saja Able tak mampu membendung
air abadi dari dua bola matanya. Terkapar, kelaparan, tuna wisma menghiasi
keseharian di rantau selama beberapa minggu. Gembel mungkin kata yang tepat
untuk mewakili kondisi Able saat itu.
****
Payakumbuh,,,
Kota biru nan hijau dengan
garis panjang terbentang di atlas. Kota terakhir sebelum kamu melangkahkan kaki
menuju negeri melayu lancang kuning, Riau. Kota yang mempunyai nama lain “Kota
Biru” yang bersumber entah darimana. Yang jelas kalau dilihat dari langit, itu
kota selalu berwarna biru. Sekarang kota biru telah bertranformasi jadi mega-town di sudut timur negeri
minangkabau. Yah, benar minangkabau, sebuah ikatan keluarga besar dengan
falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah yang terkenal seantero
dunia orang minang. Dari kota ini Able kecil lahir dan tumbuh besar menjadi
seorang lelaki yang langsung diperkenalkan dengan kerasnya dunia. Bertempat
hidup di lingkungan pasar yang terkenal dengan budayanya yang keras dan siapa
kuat dia yang menang. Siapa yang tidak tau pasar?? Tempat orang berjual beli,
tempat uang berpindah tangan secara cepat dan kuantitas yang tak sedikit bila
di hitung, tempat hukum rimba berlaku dengan teori invisible hand-nya, tempat otot menjadi penguasa dengan jatah
keamanan ala pasar. Saya rasa kamu sudah mengerti apa itu pasar yang saya maksud.
Able kecil sudah mulai
berlari dengan kaki kecil menelusup ke gang-gang kecil di tengah pasar. Memulai
perkenalan dengan istilah nembak, ngutil, tilep, copet, pajak, todong, curi,
rampas, pukul, hantam, hajar, palak, dan habis. Perkenalan berlangsung secara
manusiawi dan mengalir layaknya air. Tanpa babibu ala guru di sekolahan yang
mewajibkan maju ke depan kelas, kemudian sebutkan nama alamat dan tetek bengek
lainnya. Learning by doing, itu lah
bahasa yang di pahami Able dalam perkenalan nya dengan dunia pasar. Lambat laun
Able menjadi jagoan dan orang yang paling ditakuti di sejagad pasar kota kecil
ini. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengkebiri semua preman pasar maupun
pedagang yang tidak mau membayar uang jaminan keamanan. Pasar adalah surga
baginya dalam beberapa tahun ini.
****
Sebatang rokok garpit mulai
di hisap Able sembari menunggu lampu lalu lintas yang sedang menyala merah.
Jauh nanar tatap mata ketika Able mengingat kehidupan di kampung halaman yang
terasa begitu nyaman walau tanpa pekerjaan. Hembusan asap rokok yang mengebul
tebal mengisyaratkan betapa dalamnya Able dalam menghisap rokok tadi dan
mungkin sembari berpikir jauh ke relung hati. Asap mengebul hampir menutupi
seluruh layar kaca mobil.
Teeetttttt!!!!
Sebuah bunyi klakson mobil
dengan nada panjang seakan memerintah terdengar dari belakang. Lampu lalu
lintas sudah menyala hijau, pertanda untuk segera maju dan melanjutkan
perjalanan jalur trayek angkotnya. Segera Able menginjak pedal gas dan
mengganti persneling mobil ke gigi maju. Angkot pun bergerak.
Jalanan yang mulai terlihat
ramai oleh kendaraan pribadi yang lalu lalang menikmati suasana sore kota.
Sesekali terlihat orang yang mengayunkan tangan isyarat untuk menghentikan laju
angkot yang dikendarai Able. Penumpang silih berganti naik dan turun dari
angkot Able yang butut. Tak terasa penat mengendarai angkot mulai menyambangi
tubuh sang supir, meminta untuk beristirahat karena sedari pagi sudah duduk
siap di kursi pengendara. Roda kecil yang selalu digenggam pun sudah terasa
banjir oleh keringat yang mengucur dari telapak tangan si pengemudi. Begitupun
dengan deru mesin mobil yang terdengar kasar, barang sedetik dua menit pun
tidak untuk pendinginan mesin dari awal dinyalakan shubuh ini. Mobil dikendarai
Able dengan kecepatan sedang menjurus pelan untuk mensiasati kelelahan yang
mendera sepasang pencari nafkah di jalanan ini, Able dan mobil angkot butut
nya.
****
Sebuah tamparan keras
menepak di pipi kiri Able, penguasa pasar tak mampu berkutik kali ini. Bagai singa
kehilangan taringnya, hanya bisa mengaum dan membisu tak bisa melawan. Kedua
tangan nya kini terikat kuat tak memberi ruang untuk bergerak. Disekap dalam
ruangan gelap tak bercahaya matahari. Mungkin ini adalah ruangan bawah tanah
dari sebuah gedung. Seorang pemuda tengah menyalakan sepasang lilin memberikan
efek remang-remang pada penjuru ruangan.
Entah kebodohan apa yang
telah diperbuat Able sebelumnya, apa ini mimpi buruk yang dihadiahkan tuhan.
Berkali-kali pukulan dan hantaman mendarat di tubuh lelaki ini. Entah itu di
kepala, badan, tangan, kaki, bahkan selangkangan nya pun tak luput dari pukulan
dan hantaman tiga orang yang sedari tadi menemani nya. Mereka hanya diam,
mengenakan penutup muka dan baju serba hitam, atau mungkin karena pencahayaan
yang memang remang-remang di dalam ruangan.
Tiba-tiba salah seorang dari
mereka berbicara dan mulai bertanya pada Able.
“Apa yang kamu lakukan?”, tanya pria yang memakai topi.
“Aku tak tau, apa maksud mu?”, jawab Able ringkas dan bingung dengan
pertanyaan yang di ajukan kepadanya.
“Jangan pura-pura, dimana kamu menyembunyikan benda itu? Benda yang kemarin kau ambil dari lelaki
dari Bandung”, balas pria bertopi sembari mendaratkan pukulan ke pelipis
kiri Able.
“Dimana kau sembunyikan barang itu...!!!”, bentak pria berjaket
kulit ala koboy amerika.
“Lagi-lagi aku tak mengerti apa yang kalian maksud, barang apa yang
kalian maks....”, belum sempat Able menjawab, sebuah pukulan kembali
mendarat pelak di bibirnya. Darah segar mengalir lembut perlahan menetes di bibir
Able, membasahi baju putih yang kini telah berubah menjadi merah merona dalam
temaram cahaya lilin.
Pukulan tadi menjadi kereta
eksklusif VVIP yang mengantarkan Able masuk lebih dalam ke tempat yang sudah
lama tak disinggahinya. Tempat yang dipenuhi cahaya dan lampu-lampu terang
benderang berwarna putih. Cukup menyilaukan mata untuk sekedar mengintip ke
sekeliling. Tempat yang menghilangkan kata bayangan dalam kamus bahasa dunia.
Perlahan-lahan mata Able yang sedari tadi tertutup karena teriknya cahaya, kini
mulai terbuka dan beradaptasi untuk mengintip lingkungan sekitar. Saat melirik
ke kiri, terbentang sungai yang mengalir jernih menampakkan dasar dengan batu
kerikil hitam mengkilat. Di sebelah kanan, berdiri sebuah pohon yang kokoh lagi
tinggi dan besar, dengan dedaunan yang rimbun menyembul di setiap ujung-ujung
rantingnya. Saat menoleh ke depan, tampak lah sebuah pemandangan sebuah lembah
yang sangat cantik dengan lekukan-lekukan perbukitan mengitari nya. Sedangkan
saat Able menoleh ke belakang, puncak gunung yang menjulang tinggi seakan
merobek selimut langit yang ada di angkasa. Awan-awan yang mengerubungi pun tak
sanggup untuk sekedar menyentuh puncak tertinggi dari gunung antah berantah
ini. Sebuah tempat yang terpikirkan pun tidak bagi seorang Able.
Berbaring dan tertidur
menjadi pilihan tepat untuk menikmati suasana tempat aneh yang kini di diami
nya. Hening sebenar-benarnya keheningan, tanpa suara alam air mengalir atau
angin yang berhembus di sela-sela dedaunan. Begitu hening tanpa suara, karena
yang terdengar saat itu hanyalah suara dari hembusan nafas Able yang di-iringi
detak jantung di dada sesekali menyentak keras. Parade musik ritme organ tubuh
menjadi pengisi panggung alam aneh yang kini ditempati Able. Sejurus kemudian Able telah
terlelap dan tidur di dunia baru...
****
~13~
~Ketika Di Rantau Hujan Emas, Di Kampung Hujan Berlian~