Teman,,,
Suatu pagi yang
cerah dilangit biru. Hari yang indah untuk mengawali hari-hari baru
sebagai manusia. Dikala mentari terbit dari sisi timur, menyembul indah
membawa cahaya keemasan.
Pagi ini ku berangkat menuju
pedalaman yang rindang. Sebelum itu aku ingin bilang, "Teman, mari kita
berangkat menuju pedalaman. Dimana tidak ada pembatas yang kan
menghalangi langkah kecil tapak kaki ini."
Berangkat dengan membawa bekal mental dan iman kurasa sudah cukup untuk mengawali hari ini.
"Teman,
langkah kita mungkin di tengah pedalaman akan berbeda. Mungkin
langkahmu lebih besar dariku, atau mungkin langkahku lebih kecil dari
langkahmu. Tapi itu bukan masalah karena tujuan akhir kita itu SAMA."
Gerbang
pedalaman telah nampak menghadang di depan mata, tak gentar rasa kaki
ingin melangkah dan raga ingin menyelaminya. Tak lupa ku untuk membaca
sedikit lembaran petunjuk yang terpotong-potong dari awal perjalanan ku
mulai dari rumah.
Aku pun mulai melangkahkan kaki
pertama menuju pedalaman. Udara sejuk, panas, dingin, sepoi, dan bau
khas pedalaman mulai menyapaku seperti memberi sambutan pertama memasuki
pedalaman. Sepertinya ini akan menarik pikirku.
"Teman, apakah kau akan terus melangkah seperti diriku??" tanyaku.
aku
pun melangkah terus menuju pedalaman, jauh lebih dalam dan lebih dalam
lagi. Banyak alunan nada lembut yang sahut menyahut disekitarku. Aku
tak peduli apapun itu asalkan tidak mengganggu langkahku. Tak lupa ku
untuk terus membaca lembaran petunjuk kecil disetiap ku bertemu
persimpangan ataupun disaat ku kehilangan arah.
Tanpa
kusadari, sedikit demi sedikit lembaran-lembaran petunjuk semakin
mengecil. Robek sedikit demi sedikit yang perlahan namun pasti akan
habis dengan sendiri. Apa yang harus kulakukan??? Tolong jangan terus
robek lembaran ini, karena aku yakin perjalanan menuju pintu akhir
masih jauh. Aku baru menempuh seperempat perjalanan yang harus ku
tempuh.
"Teman, apa yang harus kita lakukan?? lembaran
petunjuk ku mulai robek sedikit demi sedikit. Apa kau juga punya
lembaran petunjuk??", tanyaku. Kemudian aku pun terus meneruskan
perjalanan menuju pedalaman. Ku tau nanti pasti lembaran petunjuk ini
akan hilang dan lenyap dari genggamanku. Tak apa, aku masih punya
Teman. Teman yang bisa menjadi tempat untuk saling memikirkan jalan
menuju pintu keluar dari pedalaman ini. Dan sekarang potongan lembaran
petunjuk terakhir telah robek dan hancur menjadi debu tak berbekas.
"Teman,
sekarang aku tak punya lembaran petunjuk lagi. Lembaran petunjuk ku
telah musnah tak bersisa. Kemana kita akan melangkah Teman?? Di depan
telah menanti sebuah persimpangan yang kalau kita salah memilih jalan,
akan membuat kita sulit untuk keluar dari pedalaman ini Teman."
Akupun
melangkah menuju persimpangan. Langkah ku seakan tertahan, kaki ku
terasa berat disaat akan memilih jalur yang ada di hadapanku. Aku
bingung, kenapa dengan kakiku?? sulit rasanya untuk melihat kaki yang
tak mampu melangkah ini. Sontak ku berpaling ke arah samping untuk
bertanya pada Teman ku. Dan kali ini aku pun dibuat terkejut dengan
penglihatanku. Teman yang kupikir ada disampingku ternyata telah
mengambil langkah menuju jalur yang berbeda dari jalurku. Kenapa??
"Teman, kenapa kau memilih jalur itu??", teriak ku yang melihat temanku telah melangkah semakin jauh dariku.
Teman,
aku tau aku membutuhkanmu untuk mampu menemukan pintu keluar pedalaman
ini. Tapi aku juga tidak akan memaksamu untuk tetap berjalan
bersamaku. Teman, mungkin aku tidak mengerti akan ilmu navigasi. Mana
arah utara, arah selatan, arah barat, dan arah timur pun aku tidak tau
di tengah pedalaman ini. Aku tau aku mungkin akan tersesat di tengah
pedalaman ini, tapi itu telah menjadi pilihanku. Pilihan yang sudah aku
ambil disaat aku menyadari bahwa lambat laun lembaran petunjuk ku
pasti akan lenyap di tengah perjalanan nanti. Pilihan yang sudah aku
ambil disaat aku yakin kelak saat lembaran petunjuk ku lenyap, aku
yakin masih memiliki teman seperjalanan yang bisa berbagi dan
memikirkan mana jalan terbaik.
Sekarang kau telah
memilih jalanmu sendiri Teman, dan aku pun akan segera meneruskan
perjalanan menempuh jalur dihadapanku. Seperti kata ku, aku tidak akan
menahanmu, apalagi untuk memaksamu tetap bersamaku di jalur yang sama.
Selamat jalan teman, semoga kita bisa bersama bertemu di pintu keluar
nanti. Lambat launn sosok Teman ku hilang di balik selimut kabut dan
rindangnya pepohonan.
Sekarang aku berjalan sendirian
menempuh jalur yang ada di hadapanku. Riuh rendah mengalun suara dan
bisikan di kiri-kanan ku. Tapi aku tak boleh berhenti, karena jika aku
berhenti aku tak akan bisa sampai bersamaan di pintu keluar pedalaman
dengan Teman ku. Dia pasti sedang melangkah dengan tegap menyusuri
jalurnya, pikirku. Aku tidak boleh lemah, aku tidak boleh lalai dan
bermalas-malasan. Semakin ku percepat ayunan langkah ku di setiap
pijakannya. Tunggu aku Teman, kita pasti bertemu di pintu keluar.
Sejenak
aku beristirahat di sebuah pohon, pohon yang sungguh nyaman untuk
tubuh kecilku yang tengah kelelahan seharian menyusuri jalan setapak
kecil di tengah pedalaman ini. Pohon ini begitu indah, banyak bunga
berbagai warna terkembang dan mekar di sudut-sudut rantingnya. Indah
nian saat di pandang mata yang telah sayu ini. Buah-buah segar yang
sudah matang juga terselip di antara rimbun nya dedaunan pohon yang
rindang ini. Begitu segar dan menggoda untuk kerongkongan yang kering
serta perutku yang telah kelaparan sedari tadi. Tangan ku mendadak
langsung melayang tanpa kuperintahkan menuju salah satu buah yang sudah
matang. Cukuplah untuk mengganjal perutku yang lapar ini. Sekarang
perutku sudah kenyang, saatnya kembali melanjutkan perjalanan menuju
pintu keluar. Dan aku tak lupa untuk memetik beberapa buah sebagai
bekal perjalananku nanti.
Sekarang perjalananku di isi
oleh guratan-guratan duri yang tajam. Jalan yang tadinya rimbun oleh
dedaunan telah berubah menjadi ladang kaktus berduri. Seringkali mata
kecilnya menyayat kulit lemah yang tak berpelindung ini. Perih, itu lah
kata yang cocok untuk mengungkapkan rasa luka goresan yang timbul
akibat sayatan duri-duri kecil itu. Tak hanya duri, suara-suara gemuruh
sekarang juga mulai terdengar membentak dari arah yang tidak aku tau.
Suara yang begitu memekak kan telinga ku sehingga membuatku tertunduk
dan berhenti melangkah untuk membiasakan diri dengan suara-suara itu.
Sayangnya aku berhenti di tempat yang salah, hidungku mulai mencium bau
yang tidak sedap. Ya, ini adalah bau bangkai. Bangkai makhluk hidup
yang sudah membusuk dipenuhi belatung dan berbagai microba lainnya.
Seakan belum lengkap, sekarang di hadapanku telah berdiri seorang
petarung dengan pedang dan perisai nya siap untuk memenggal kepalaku.
Tapi semua itu tak cukup untuk menghentikan laju langkahku menuju pintu
keluar dan kembali bertemu dengan Teman yang kini berada di sisi lain
pada wilayah pedalaman ini.
Lekas aku bangkit dan berdiri
untuk melangkah melanjutkan perjalananku. Aku akan menghadapi petarung ini, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pintu
keluar. Gumam ku dalam pikiran. Tapi aku akan melawan pakai apa??
petarung ini memiliki pedang dan perisai di kedua tangannya. Sedangkan
aku, cuma tangan hampa tanpa ada satupun senjata yang tergantung di
setiap bagian tubuhku. Reflek aku mematahkan sebuag dahan pohon yang
berduri di sekitarku. Walaupun memegangnya saja sudah melukai tanganku,
tapi minimal aku telah memiliki senjata untuk mengimbangi sabetan
pedang petarung. Kini aku siap untuk bertarung.
Bodoh,,,
Itulah
kata pertama yang ku pikirkan saat mengetahui petarung itu cuma sebuah
patung. Patung tak bernyawa yang cuma bisa diam dan membisu. Kenapa
aku harus melawan nya?? kenapa aku harus melukai diriku sendiri dengan
mematahkan dahan pohon berduri untuk melawan makhluk tidak bernyawa
ini. Sekarang yang kudapat hanya sobekan besar di telapak tangan ku dan
darah yang mengucur lembut perlahan namun pasti menetes dengan
interval tetap di ujung-ujung jari ku.
Begitu indah,,,
Pesona
tetesan darah yang kulihat mengalir dan jatuh dari telapak tanganku
menuju tanah. Seperti sebuah gambar lukisan yang biasa di pajang pada
galery-galery pameran lukisan dan photografi. Jika di ibaratkan tangan
dengan darah yang menetes ini sebagai objek lukisan, maka genangan darah
di bawahnya jadi pelengkap untuk menyempurnakan pesona hidup dari
lukisan itu. Di tambah dengan siluet-siluet hitam yang menghiasi setiap
sudut dan sisi dari lukisan. Begitu sempurna, mungkin bisa menjadi
sebuah lukisan termahal menyamai lukisan karya agung seniman prancis
Leonardo Da Vinci dengan judul "Mona Lisa".
Sekarang
semua pandanganku telah hitam legam. Darah yang mengalir dari telapak
tanganku sudah begitu banyak yang membuatku kehilangan kesadaran.
Selamat tinggal Teman, sepertinya aku tidak akan bisa menemuimu di pintu
keluar pedalaman. Semoga kau sampai di pintu keluar dan menjalani
hidup yang baru. Sedangkan aku, aku sepertinya tidak akan pernah
bertemu pintu keluar. Tetap di dalam pedalaman sini bersama tubuh yang
akan segera kehilangan nyawa nya. Maaf atas segala kesalahanku kepadamu
Teman, karena aku juga manusia biasa yang punya rasa, emosi, khilaf,
dan sifat humanis lainnya.
Sekarang sempurna sudah
kegelapan menutupi pandangan mataku ini,,, Terima kasih. Bisikku sebelum
aku kehilangan kesadaran seutuhnya.
Marta Muhammad Thohir, 15 Desember 2011, 01.30 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar